Wednesday, April 26, 2006

di Depan Al Fallah Mosque

Suatu saat di hari Sabtu di Depan Masjid Al Fallah Orchad Road Singapura
ada pertanyaan dalam hati; "bisa juga ya di tengah ribuan orang bertandang ke negeri sekuler ini sebuah masjid yang bagus dan bersih terpelihara dengan tertib?" mungkin guna menampung mereka yang tersesat dari jalan sekuler, kali ya?!
ini aku di depan masjid itu

Sunday, April 23, 2006

Sufisme Dunia Kini

Penghargaan Barat terhadap Sufisme Islam
April 13, 2006



Sufisme sebahagian kehidupan Islam. Pemikiran sufi turut berkembang dalam bentuk seni dan sastera. Namun, sufisme turut mengelirukan masyarakat Islam sendiri. Terutama apabila bentuk sufisme seperti yang dikaryakan Jalaludin Rumi mendapat perhatian besar di Amerika. Bagaimanakah penghargaan Barat terhadap Sufisme Islam? Kali ini di Imej;

Jalaludin Rumi, penyair sufi Parsi abad 13, cukup terkenal di dunia Barat. Puisi-puisi beliau dalam pelbagai bentuknya mendapat tempat baik di kalangan ahli akademik di Amerika dan Britain sejak dulu lagi. Kepopularan terjemahan puisi sufi Rumi menarik minat, malah personaliti seperti Coleman Barks, penyair Amerika, dan Madonna, diva pop. Bagaimanakah hubungan karya sufi Rumi itu dengan kefahaman terhadap Islam? Profesor Kelim ErkanTurkmen, dari Universiti New Turki, menerangkan perutusan cinta universal yang disebarkan Rumi merupakan sesuatu yang datang dari Quran. Rumi kemudiannya menjelaskannya menggunakan pelbagai cara: cerita, contoh dan anekdot. Dengan membawa pesan-pesan itu, diharapkan menjadi lebih memahami Islam.

Maulana Jalaluddin Rumi menghadirkan ajaran cinta yang universal, dan ini bukan merupakan ciptaannya karena ajaran ini terdapat dalam Quran. Tapi Rumi menyampaikannya dengan cara yang sangat jelas dan sederhana. Karena itulah ia digemari ramai. Ia membawa contoh, anekdot, cerita dan menjelaskannya satu demi satu. Karena itulah saya percaya bahwa semakin ramai mempelajari Rumi, dan semakin memahami Islam.

Tetapi, mengapakah setelah mengikuti Rumi sedemikian lama, dunia Barat seperti Amerika masih terus menyalah-ertikan Islam? Professor Turkmen, yang bertahun-tahun mengkaji karya pemikiran Jalaluddin Rumi menyalahkan sikap masyarakat Amerika itu sendiri dalam memakai nilai dan pandangan dunia mereka untuk menghayati pemikiran Rumi.

Orang Amerika kebanyakan beragama Nasrani atau Yahudi. Mereka tidak mempunyai inspirasi megenai Islam di dalam hati mereka. Jadi mereka tidak boleh melihat kenyataan ini. Mereka harus mempraktikkannya dulu, membuka mata dan menghirup aroma indah dari Tuhan, baru mereka boleh memahami Islam. Itu masalahnya. Saya seorang pencinta Rumi dan harus saya katakan, semakin anda memahami Rumi, semakin anda memahami Islam. Tapi dengan latar konsep Islam. Demikian penjelasan Professor Dr. Kelim Erkan Turkmen.

Saudara, kekeliruan penafsiran Barat terhadap sufisme dari penghargaan ke atas Jalaludin Rumi ada kesan polemik mengenai sufisme di kalangan masyarakat Islam sendiri. Terdapat Muslim yang malah menolak adanya kaitan sufisme yang dibawakan Rumi dengan ajaran sebenar dalam Islam. Sebahagian mereka mendapati banyak kemurnian ajaran Islam yang hilang dalam proses penterjemahan karya dan pemikiran Rumi. Ini berlaku terutamanya kerana ada keinginan untuk menyesuaikan pemikiran Rumi itu dengan citarasa masyarakat Barat itu sendiri. Polemik mengenai lunturnya warna asli Islam dalam proses penterjemahan seperti yang berlaku kepada karya dan pemikiran Rumi bukanlah satu fenomena yang menghairankan. Demikian menurut Professor Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Universiti Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Bukan salah tapi belum selesai. Wajar saja. Cuma kewajiban orang Islam sendiri yang mestinya mengenalkan atau membuat jilid berikutnya dari Rumi sehingga Islam bisa lebih dipahami. Islam itu ada dimana-mana. Universal dalam pengertian kompatibel dengan pengalaman bangsa-bangsa. Setiap bangsa punya pengalaman tentang keindahan, tentang kebenaran, dan kalau kita sambungkan dengan Islam, akan ketemu. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Orang-orang Rusia yang dulu fahamnya komunis itu kan punya pengalaman universal kemanusiaan. Dia punya komitmen tentang kejujuran. Pada tingkat itulah sesungguhnya Islam. Mengapa kita tidak bicara dengan orang lain sesuai dengan tradisinya. Mengapa tidak lewat situ. Di barat mungkin lewat sufi, lewat rumi untuk bicara tentang tahap-tahap berikutnya.

Professor Abdul Munir Mulkhan menambah, setiap orang mempunyai pendekatan yang berbeza dalam memahami sesuatu, termasuk pemikiran Rumi;

Cara orang menangkap atau memahami sesuatu itu kan berbeda-beda. Ada yang lebih memahami keindahan estetiknya dari karya-karya Rumi. Padahal kan sesungguhnya karya-karya Rumi itu betapa dia menyadari kehadiran Tuhan di dalam hidupnya kemudian dituangkan dalam syair-syair. Orang menangkap itu keindahan bahasa, keindahan ungkapan. Jadi ada orang yang begitu. Ada yang melihat dari sudut seni, bukan puisinya, tapi artistiknya dan lain sebagainya. Jadi mungkin kalau kita mau cari, ada istillah Kaffah. jadi bukan hanya aspek seni dan estetik tapi juga keseluruhan. Tapi orang kan berbeda-beda. Ada yang menangkap lewat seni dulu. Ada yang begitu kagum dengan gerak-gerak atua tarian-tarian. Itu ndak masalah. Tapi yang perlu dilakukan adalah kesadaran bahwa itu hanya bagian dari Islam.

Professor Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Universiti Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta, Indonesia.

Mungkin sufisme sebagai sebahagian kehidupan Islam tidak sempurna difahamkan jika penafsiran dan penghayatannya tidak berlandaskan gagasan, falsafah dan ajaran Islam itu sendiri. Inilah cabaran yang menjadi tugas sebahagian Muslim, terutama bagi mereka yang mempunyai kecenderungan kepada sufisme atau pemikiran sufi, untuk terus menjelaskannya termasuk kepada dunia Barat. Khamis depan, satu lagi aspek pemikiran sufi ditinjau dalam hubungannya dengan kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Mariani Yahya di Radio Singapura Internasional, salam hormat.

Thursday, March 30, 2006

Sentosa Island dan Stasiun MRT Singapura



Foto bersama istri dan anak-anak serta anak tetangga yang ketemu di singapura segang nampang di belakang pintu masuk Sentosa Island suatu pulau kecuil buatan yang dikemas Singapura jadi pusat turis. Di sini ada tontonan tari air dan sinar laser yang setiap hari dikunjungi ribuan orang dari seluruh dunia. Dua sesi di malam hari antara pukul 19.45 hingga 20.25 dan sesi berikutnya jam 20.45. Beberapa jam sebelum dimulai orang sudah berjubel duduk manis di depan alat berupa kolam sir dengan latar belakang patung singa besar menggunung yang malam hari menyorotkan lampu dari matanya. Kapan ribuan pulau di tanah air bisa menarik warga sendiri apalagi orang lain?



Satu lagi sedang nampang di dalam stasiun MRT tanpa masinis, bersama Dr. Aris Anantra dan keluarganya, guid sekaligus sponsor. Kapan ya di Yogya atau Jakarta ada MRT seperti Metro di Montreal gitu?

Thursday, March 16, 2006

Kapitalisasi Erotisme

Republika, Senin, 13 Maret 2006

'Permusuhan' Raja Dangdut Haji Rhoma Irama dan Inul 'Ngebor' Daratista yang marak kembali dalam rapat dengar pendapat Panitia Khusus (Pansus) RUU Antipornografi dan Pornoaksi, mencerminkan dilema erotisme estetis dan kesalehan. Ketika ratusan korban bencana alam, busung lapar, dan flu burung kehabisan air mata, selebriti seni, politisi dan agamawan berdebat tentang legalitas erotisme keindahan tubuh. Lebih indah jika para selebriti itu menghibahkan sebagian honorariumnya guna membebaskan penderitaan rakyat kecil tersebut, atau bangsa ini mungkin telah benar-benar kehilangan empati dan sensitivitas kemanusian.

Lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebas mengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik? Selingkuh mungkin menarik, indah dan menyenangkan bagi pelakunya, tapi apakah hal itu benar dan baik? Problem etis ini sudah menjadi perdebatan filosofis sejak zamannya Socrates.

Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik. Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban.

Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.

Kesalehan memang wilayah privasi di mana Tuhan sendiri hakim pemutusnya. Tapi jika suatu tindakan dilakukan di ruang publik, sejumlah persyaratan dan batasan harus dipenuhi. Setiap bangsa memiliki tradisi yang dibangun dari pengalaman panjang warga dengan seperangkat nilai religius atau estetis. Goyang ngebor, mengumbar paha atau payudara, lirik lagu dan sejumlah kosa kata erotis mungkin indah. Tapi, banyak yang menilai sebagai tindak maksiat yang tak indah.

Mati dengan bom syahid dengan banyak korban jiwa bisa bernilai spiritual tinggi bagi pelaku, tapi banyak orang yang menilai sebagai teror tanpa nilai spiritual ketuhanan.

Seni untuk seni
Dalil seni untuk seni, rasa estetis sebagai privasi, dan kitab suci untuk Tuhan, tak dapat dijadikan pembenar tiap kreasi seni dan goyang erotis. Keyakinan atas kebenaran firman Tuhan tidak bisa dijadikan pembenar tindakan yang mengganggu privasi orang lain. Penting disadari bahwa subjektivitas seni, estetika dan erotisme, atau spiritualitas memiliki dimensi objektif ketika berhubungan dengan orang lain.

Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.

Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.

Mereka lupa
Banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.

Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.

Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.

Ikhtisar
*Apakah orang bisa bebas mengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik? Problem etis ini sudah menjadi perdebatan filosofis sejak zamannya Socrates.

* Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.

*Dalil seni untuk seni, rasa estetis sebagai privasi dan kitab suci untuk Tuhan, tak dapat dijadikan pembenar tiap kreasi seni dan goyang erotis.

*Penting disadari bahwa subjektivitas seni, estetika dan erotisme, atau spiritualitas memiliki dimensi objektif ketika berhubungan dengan orang lain.

*Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi.

*Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan.

*Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.

Wednesday, March 01, 2006

Masjid Sultan


Ini adalah photoku di Masjid Sultan ( Sultan Mosque) yang konon dibangun oleh Sultan Singapura. Lokasi Mesjid ini disebut kampung Bugis, karena kampung ini semula dihuni orang-orang Bugis yang datang dengan Pinisinya. Masjidnya bagia dan bersih, mungkin karena Singapura.

Waktu itu aku ketemu dua ratusan PRT (pekerja rumah tangga; mereka sukanya disebut TKW) yang sedang ngaji ke ustadz di masjid itu dibawah koordinasi An-Nusa (LSM di mesjid itu). Saya sempat ngomong ke mereka selama 5 menit bersama Dr Aris Ananta dan istrinya Dr. Evi yang kerja di NUS.

Dari Mesjid Sultan kami minum-minum dan kongkow di warung padang dengan seorang warga global yang sabtu minggu di Singapura tapi kerjanya di Jakarta sebagai konsultan BI. Di situ kami minum cendol (lihat fotoku yang kelihatan tua ya).

Tuesday, February 21, 2006

Makan bubur ubi talas dgn Dr Aris Ananta di Singapore



Bersama Dr. Aris Ananta dari Insitute of Southeast Asian Studies, makan bubur ubi talas yang di Tanah Air sudah langka, di Pusat Pertokoan Boon Lay Singapura. Di sinilah beragam jajanan tradisional disajikan dengan apik

Monday, February 13, 2006

Sufistisasi Ekonomi1

Belum tuntas evakuasi mayat akibat gempa Aceh 26 Desember 2004 lalu, lebih seribu mayat lagi harus segera dievakuasi akibat gempa serupa melanda Nias dan Simeuleu. Derita duka berdenyut ke relung hati penduduk seantero negeri yang tak pernah bebas dari perangkap kemiskinan, akibat bencana alam, salah urus negeri dan kenaikan harga BBM. Elite negeri di aras lokal atau nasional lebih sibuk merebut dan kekuasaan dalam berbagai konggres partai atau pemilihan kepala daerah (Pilkada). Rakyat pun kehilangan arah menghadapi berbagai problem kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sufistisasi diri perlu dilakukan untuk keluar dari kekacauan dan kemiskinan dilematis serta ketakacuhan elite negeri ini atas nasib rakyatnya tersebut.

Doktrin sufistik bisa dijadikan dasar etik pengembangan kehidupan lebih humanis dengan tetap memelihara produktivitas di tengah gaya hidup modern yang memproduksi ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Fungsionalisasi ajaran sufi itu lebih urgen ketika berbargai wilayah negeri ini dilanda bencana alam akibat salah urus dan daur-ulang fisika bumi. Kehancuran sarana kehidupan akibat gempa tektonik dan badai tsunami di Aceh akhir tahun lalu yang 100 hari kemudian disusul gempa serupa tak terbayangkan di saat kita sedang menikmati indahnya kehidupan duniawi.

Konflik menajam dalam pertarungan politik setiap pergantian pimpinan partai dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mulai berlangsung di seluruh kawasan Tanah Air, membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat semakin mengenaskan. Fakir-miskin dan korban bencana alam itu makin tak terurus saat elite partai dan bahkan keagamaan terperangkap perebutan kekuasaan materiil. Doktrin sufi mengajarkan bagaimana cara pembebasan manusia dari perangkap labirin hasrat kuasa dan kaya yang tak jarang membuat pelaku ekonomi, politik dan keagamaan kehilangan rasa kemanusiaan.

Tuduhan ajaran sufi menjadi penyebab utama lemahnya etos sosial, ekonomi dan politik sehingga mayoritas pemeluk Islam tergolong miskin dan berpendidikan rendah adalah akibat kesalahpahaman memaknai ajaran-ajaran sufi tersebut. Ajaran sufi bisa menjadi basis etik dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik kebangsaan humanis dan berkeadilan dalam aras global jika dimaknai sebagai praksis kemanusiaan. Akar etik sufi ialah kesediaan manusia menempatkan dinamika kebendaan dan duniawi (sosial, ekonomi, politik) sebagai wahana pencapaian tahap kehidupan (maqam) lebih tinggi dan bermutu.

Bagi kaum sufi, kehidupan sosial, ekonomi dan politik bukanlah tujuan final, tapi tangga bagi kehidupan lebih luhur. Inilah maksud ajaran suluk sebagai jalan mencapai makrifat sebagai pengetahuan tertinggi tentang hakikat kehidupan dinamis alam dan manusia. Dari makrifat yang futuristik itu manusia bisa melihat hukum kausal sejarah dan berbagai kemungkinan kejadian di masa depan. Realisasi doktrin sufistik bukanlah dengan menjauhi, menolak dan menghindari pergulatan bendawi, melainkan melampaui dan menerobos batas-batas dinamika bendawi yang materialistik dan habis-bagi.

Cara hidup sufi (perilaku sufistik) merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi dan politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Praksis sufi bukan menjauhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran lebih spiritual dan ilahiah. Itulah basis etik setiap laku sufi yang seharusnya meresapi tiap tindakan manusia di dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta berbagai kegiatan ilmiah. Inti ajaran sufi demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama di dunia yang otentik.

Berbasis etika sufistik seseorang bersedia membantu meringankan penderitaan orang lain, walaupun diri sendiri menghadapi kesulitan dan penderitaan serupa. Prestasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik penganut sufi, selalu terarah bagi capaian kualitas spiritual, bukan semata bagi status sosial, penumpukan harta dan kuasa pribadi. Ajaran zuhud bukan uzlah (meng-isolasi diri) lari dari dinamika hidup empirik, tapi mengatasi hingga bisa bertindak sebagai pengamat atas hidupnya sendiri dan kehidupan duniawi. Fakir bukan hidup miskin tanpa harta dan kuasa, tapi berlaku bagai si miskin atas harta dan kuasa yang dimiliki, sehingga seseorang mudah memberikan harta dan kuasanya bagi kesejahteraan publik.

Itulah sufistisasi ekonomi yang belakangan berkembang menjadi faktor penentu dinamika sosial dan politik. Sufistisasi berarti peletakkan tiap usaha dan prestasi sosial, ekonomi, dan politik pada akar nilai kemanusiaan, bukan sebagai berhala-berhala ketika harta dan kuasa dianggap lebih berharga dari praksis pemihakan kepentingan humanitas universal. Keculasan ekonomi (kerakusan kapilatistik) dan politik (cenderung korup) ialah akibat perilaku ekonomi dan politik hanya bagi peraihan kekayaan harta finalistik.

Gagasan Imam Alghazali seringkali dijadikan referensi penolakan pelibatan diri dalam dinamika sejarah, ekonomi dan politik dalam doktrin zuhud dan fakir. Ajaran itu bagi Alghazali berarti peletakkan kegiatan ekonomi dan politik bagi pengabdian pada Tuhan. bukan menolak atau lari dari kehidupan empiris. Inilah maksud transendensi dan radikalisasi dalam pemikiran filsafat. Proses demikian akan menumbuhkan kesadaran tentang diri, realitas alam raya, dan Tuhan sendiri yang membuat kehidupan seseorang bebas mekanisme bendawi, memasuki wilayah universal dan melampaui batas bendawi materiil bagi tujuan-tujuan spiritual kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus.

Sufistisasi ialah praksis sufi dalam kehidupan empirik sehingga kebekuan sosial, eknomi, politik, dan keberagamaan dicerahi kemanusiaan dan diresapi logika sejarah kritis dan dinamis. Bukan lari dari kecenderungan ekonomi dan politik yang culas dan korup, tapi kerja keras menahan diri mengatasi perangkap finalitas ekonomi dan politik. Tidak jarang kegiatan ritual keagamaan terperangkap finalitas serupa ketika ditujukan hanya untuk meraih pahala sebesar mungkin tanpa keterkaitan fungsional pemecahan problem kehidupan riil. Prestasi sosial, ekonomi, politik, dan kesalehan religius lebih bermakna saat seseorang memasuki wilayah tanpa batas penuh kenikmatan hidup dan melampaui dimensi bendawi.

Sufistisasi produktif penting dalam keberagamaan non-produktif fatalis yang lebih menekankan pencarian kekayaan moral-spiritual menolak kekayaan dan kuasa bendawi. Pemahaman ajaran zuhud seperti itulah penyebab ketertinggalan masyarakat Muslim yang miskin dan terkebelakang. Selama ini ajaran fakir bersama zuhud dipahami sebagai ketakpedulian Muslim dalam dinamika sejarah terhadap peluang ekonomi menjadi kaya, peluang sosial (pendidikan) menjadi pintar, peluang politik menjadi penguasa.

Strategi mental sufi produktif lebih urgen di tengah penduduk miskin negeri kaya sumber daya alam Indonesia ini jumlahnya bisa lebih besar dari angka-angka resmi BPS (Biro Pusat Statistik). Gaji pegawai negeri golongan III bermasa kerja lebih 20 tahun hanya sekitar 1 jutaan. Sebagai pekerja tunggal (istri ibu rumahan) dengan 3 anak yang semua sekolah, gajinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan petani per-bulan dengan hak garap 0,250 ha jauh di bawah pegawai negeri golongan II yang membuat mereka lebih sulit memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosialnya. Nasib lebih mengenaskan dihadapi pekerja buruh walaupun gajinya di atas UMR, lebih-lebih bagi petani tanpa hak garap dan penduduk yang tak memiliki pekerjaan tetap.

Derita orang miskin menjadi lebih tragis saat modernisme memandang dinamika jasad (materi) lebih penting dan berharga dari dinamika kejiwaan dan spiritual, ekonomi lebih penting dan berharga dari moralitas, kekuasaan politik lebih penting dan berharga dari tanggung jawab. Sementara kaum sufi memandang materi (jasad) sebagai abdi, alat dan pintu jiwa, ekonomi alat dan media pembuktian kesalehan, dan politik kekuasaan sebagai metode pemenuhan amanah pertanggungjawaban publik. Pencapaian dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bagi orang modern adalah akhir pencarian, tapi bagi sufi iptek merupakan tahap antara dari memahami, menyentuh dan berdialog dengan puncak metafisika kegaiban yaitu Tuhan atau yang disebut Tuhan itu sendiri.

Sayangnya, saat modernisme berhenti pada iptek, ekonomi bagi kekayaan harta, politik bagi kuasa, hidup sosial bagi status, ritual bagi pahala, praktik sufi cenderung meloncati beberapa proses yang seharusnya dilalui untuk tiba di wilayah kegaiban dan kehadiran dalam kehidupan nyata. Secara kurang disadari dan dipahami, banyak orang ingin mencapai keberhasilan hidup atau kesalehan religius tanpa amal praktis dan proses dengan argumen jika dikehendaki Tuhan, segala hal menjadi mungkin. Penguasaan iptek, harta dan kuasa dipandang sebagai hidayah (pemberian) Tuhan, bukan hasil dari sebuah proses kreatif. Karena itu kemiskinan diterima sebagai nasib ketika kaya dan kuasa duniawi dipandang sebagai wahana setan dan awal sebuah kejahatan.

Karena itu kehidupan dunia global lebih bernilai ketika kekayaan dan kekuasaan diabdikan bagi Tuhan tapi bukan hanya bagi kepentingan diri sendiri, keluarga dan golongan sendiri. Kaya dan kuasa tak akan berarti ketika tidak ada lagi orang lain yang bisa mengakui dan menikmati kekayaan dan kekuasaannya seperti kasus sejarah Qarun dan Firaun. Bukti pengabdian pada Tuhan secara otentik ialah ketika seseorang dengan suka rela membantu mereka yang, karena berbagai penyebab, menderita kemiskinan dan kelaparan serta penyakitan. Tidak cukup menyatakan mereka yang miskin, menderita dan penyakitan adalah akibat kemalasan dan kegagalan merebut peluang, tapi lebih bermakna jika mereka yang memiliki banyak peluang dan kuasa bersedia memberikan sebagian peluang dan kewenangan kuasanya itu bagi orang lain agar bisa bekerja lebih produktif dan tumbuh lebih kreatif.

Imam Al Ghazali menyatakan bahwa dinamika kehidupan manusia dalam sejarah bertumpu pada unsur dan proses kejadian manusia yang dijadikan dari dua unsur, yaitu: ruh dan jasad tubuh. Dimensi ruh karena proses kejadiannya langsung bersumber dari Tuhan ia terbebas dari hukum natural mekanis. Sementara jasad tubuh tumbuh melalui proses natural hingga dikenai dan terikat proses mekanistis tersebut ketika kedewasaan tubuh memerlukan waktu historis dalam hitungan tahun. Karena itu Imam Alghazali berpendapat bahwa kebahagiaan hidup seseorang bisa dicapai ketika mekanisme jasad tubuh itu diabdikan sepenuhnya pada mekanisme ruh-nya.

Jasad dikenai rasa lelah, mengantuk, penyakit dan kebutuhan tidur, tidak demikian dengan ruh. Jasad terikat jam-biologis, tapi ruh adalah dimensi bebas segala keterikatan atas dinamika bendawi. Seseorang yang biasa tidur siang atau malam jam 21.00, ketika suatu saat tidak tidur siang atau tidur larut malam akibat sibuk kerja atau sebab lain, badannya terasa nyeri atau serba tidak enak. Situasi demikian tidak dialami ruh yang tak mengenal dan tidak dikenai waktu historis dan hukum mekanis jasad-tubuh tersebut.

Orang-orang kaya harta dan kuasa seringkali hidupnya kosong dan hampa karena kehilangan kekayaan ruhaniah dan spiritual. Mereka yang kaya harta, kuasa dan ilmu, mengalami insomnia (sulit tidur), mahal senyum, dan stres berat, tanpa banyak pilihan, kecuali mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Manusia terperangkap dalam mekanisme bendawi serba terbatas dan habis-bagi. Sementara banyak orang yang tiap hari makan sekali bekerja keras sehari suntuk di bawah terik matahari, bisa besenda gurau dan tidur lelap malam hari berselimut awan. Mari kita bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dengan segala daya dalam kehidupan sepanjang kurang satu abad ini?

Oleh : Abdul Munir Mulkhan, Sufistisasi Ekonomi dalam Perangkap Kemiskinan, Harian Investor Daily Indonesia, Januari 2005

Tuesday, September 13, 2005

Spiritualisasi Sains

Tesis Huntington tentang benturan peradaban seperti memperoleh pembenar, namun hal itu masih memerlukan sejumlah bukti dan uji sejarah. Beberapa penanda memang bisa memperkuat tesis etrsebut seperti perkembangan terorisme dan perlawanan terhadapnya setelah hancurnya menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 lalu. Usai ''perang dingin'', kini dunia global memasuki konflik yang lebih hebat. Konflik antara peradaban Barat yang sekuler dan peradaban Timur yang spiritual.

Tapi, salah satu penyebabnya bukanlah seperti yang dibayangkan Huntington. Melainkan, lebih sebagai rasionalitas material yang ad hoc dalam dunia sains (iptek) dan logika spiritual dalam dunia religi yang seperti tak peduli pada realitas empirik. Kecenderungan demikian justru mengandaikan konflik yang lebih dahsyat dari konflik dunia selama era ''perang dingin''.

Jika kita bersedia membebaskan rasionalitas sains dari logika material, maka ia akan sampai pada wilayah spiritual --ketika prinsip dasar epistemologi sains adalah relativitas yang selalu menyisakan problem akibat reduksi, merupakan syarat bagi pemikiran ilmiah (sains). Sementara logika religi yang spiritual seperti mengabaikan data empirik ketika logika ini melakukan loncatan (ekstrapolasi) ke wilayah terjauh ke dunia metafisik --yang oleh kaum agawaman disebut wilayah ketuhanan. Dua model logika ini bisa didamaikan jika realitas alam dan kemanusiaan diletakkan dalam keutuhan otentiknya. Reduksi dalam logika sains mengandaikan adanya suatu entitas atau wilayah yang memang sengaja tak disentuh dan ditolak sebagai objek sains.

Sementara itu, logika religi yang spiritual mengandaikan pemaksaan dunia empirik tunduk pada doktrin-doktrin metafisik. Fakta lapangan menunjukkan kesatuan otentik antara wilayah empirik dan metafisik. Yang pertama sebagai medan dan ajang gerak naik memasuki wilayah metafisik yang spiritual, dan yang kedua tak akan dikenal tanpa yang pertama, sementara yang pertama tak mempunyai nilai tanpa yang kedua. Logika biner semacam ini menjadikan praktik ritual keagamaan terasing dari kehidupan empirik selain gagal menjalankan fungsi profetiknya bagi promosi kemanusiaan dan peradaban yang bermartabat. Sementara sains modern kehilangan makna otentiknya yang cenderung menjadikan manusia sibuk berebut harta dan kuasa, tak peduli hal itu mencederai peradaban dan kehidupan anak-cucunya sendiri.

Pesan Isra Mi'raj

Peristiwa Isra Mi'raj pada ke-14 abad lalu, selain membawa ajaran ritual shalat lima waktu, juga membawa pesan mengenai kesatuan otentik sains dan religi tersebut. Islam bukanlah sekadar religi dalam pengertian sains modern yang hanya mengajarkan bagaimana melakukan ritual yang langsung ditujukan pada Tuhan. Lebih luas lagi, Alquran dan Sunah Rasul mengajarkan ritual tentang bagaimana mengolah alam dan hubungan antarmanusia.

Ritual dalam bentuk yang pertama tidak lengkap dan tidak membawa kehidupan duniawi lebih bermartabat tanpa ritual dalam format kedua. Sementara ritual format kedua tak bermakna dan kehilangan arah (spiritual) tanpa ritual dalam bentuk pertama. Pemikiran intelektual Muslim generasi pertama seperti Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan banyak lagi lainnya, tidak hanya menjadikan ritual pertama sebagai objek kajian tapi juga yang kedua. Berbagai ilmu dalam pemikiran generasi awal Islam yang belakangan disebut ''Ilmu Keislaman'' (Islamic Studies), meliputi sains dan religi dalam pengertian modern itu sendiri. Membatasi Islamic Studies hanya seperti yang dipelajari IAIN atau STAIN dan didakwahkan dalam berbagai mimbar khutbah dan pengajian selama ini, berarti melakukan reduksi secara sengaja seperti konsep religi dalam sains modern.

Upaya menyatukan ilmu dalam gugus Islamic Studies dan ilmu dalam gugus sains modern berarti mengukuhkan pandangan sekularisme itu sendiri. Karena itu, lebih strategis jika lembaga pendidikan tinggi Islam, baik negeri (yang belakangan berubah status menjadi universitas) atau swasta, kembali pada prinsip dasar ilmu otentik yang membagi sains atau ilmu ke dalam bidang ilmu teks (Alquran dan sunah) dan ilmu tentang ciptaan (alam, manusia, dan alam metafisik) --dengan segala dinamika kesejarahannya, jika kita tidak mau memakai taksonomi klasik tentang ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora.

Strategi pengembalian pada ilmu otentik itu bisa ditempuh melalui spiritualisasi sains di satu sisi dan fungsionalisasi religi pada sisi yang lain. Dari sini peristiwa Isra Mi'raj bisa dijadikan salah satu pemicu bagi pengembangan strategi tersebut. Peristiwa ini bukan sekadar ''wisata'' spiritual Nabi Muhammad SAW, tapi sekaligus merupakan ''wisata'' sains dan fungsionalisasi keduanya dalam kehidupan empirik manusia dalam sejarah duniawi.

''Wisata'' spiritual merupakan pemaknaan terhadap transendensi atas fakta empirik dalam kehidupan sejarah umat manusia ketika Nabi (baca; manusia) secara sengaja melakukan alienasi (pengasingan) terhadap kehidupan keseharian, agar dengan cara itu manusia bisa melihat secara spiritual perjalanan hidupnya yang dijalani selama ini. Dari langkah ini, seseorang bisa melakukan koreksi atau rekonstruksi kehidupannya sendiri.

Sementara ''wisata'' sains bisa dikaji dari perjalanan Nabi SAW menembus ruang dan waktu membebaskan diri dari perangkap gravitasi. Persoalan ini terus mengundang perdebatan ulama dan ahli sains modern hingga saat ini. Sementara perkembangan fisika teknik mulai menggagas tentang mesin waktu sehingga manusia bisa bertandang ke masa lalu dan masa yang akan datang, ahli sains masih belum menemukan teori tentang bagaimana membebaskan manusia dari hukum gravitasi itu sendiri.

Pertanyaan terbesar

Misteri peristiwa Isra Mi'raj bukan sekadar mukjizat atau kehendak Tuhan semata, tapi ia merupakan pertanyaan terbesar sains modern, khususnya fisika teknik. Keduanya mungkin bisa dipecahkan jika logika sains modern dibebaskan dari konsep materialisasi realitas, dan logika religi dibebaskan dari konsep sakralisasi Islamic Studies.

Dari sini, secara serentak dilakukan spiritualisasi sains modern dan fungsionalisasi ritual. Selanjutnya dapat dilakukan rekonstruksi pembidangan ilmu atau nomenklatur baru yang tidak lagi menempatkan sains sebagai ilmu sekuler dan ilmu-ilmu dalam gugus Islamic Studies sebagai ilmu setara dengan ilmu-ilmu dalam gugus sains modern.

Karena itu, tugas para ulama dan ilmuwan Muslim, terutama yang selama ini tergabung dalam lembaga pendidikan tinggi Islam seperti UIN, IAIN, dan STAIN, atau perguruan tinggi Islam swasta lainnya, untuk melakukan dan mengembangkan strategi pembelajaran berdasar otentisitas ilmu dalam pemikiran Islam. Rasionalitas sains modern pada umumnya berhenti pada satu titik material. Jika logika sains modern itu diletakkan pada kebebasan terbukanya, maka dimungkinkan rasionalitas sains modern itu akan terus mengalir memasuki wilayah spiritual.

Pada saat yang sama, ilmu-ilmu di dalam gugus Islamic Studies diletakkan pada kerangka ilmu yang profan dan terbuka. Dari cara ini kedua gugus ilmu yang selama ini diletakkan pada posisi terpisah dan saling bertentangan itu akan mencapai satu titik yang sama, yaitu pada wilayah dan dimensi spiritual itu sendiri.

Di sinilah perubahan status IAIN menjadi UIN bersama universitas negeri lainnya dan universitas swasta Islam bisa melakukan telaah bagi model konstruksi ilmu otentik. Selanjutnya dikembangkan strategi pembelajaran berdasar konstruksi ilmu otentik tersebut. Kerja demikian tentu membutuhkan waktu cukup lama, tapi bisa dimulai dari langkah sederhana dengan orientasi jauh ke depan. Langkah ini bukan saja penting bagi pengembangan lembaga pendidikan tinggi Islam itu sendiri, tapi bagi kepentingan peradaban dunia yang lebih manusiawi dan berpeluang bebas dari konflik. Dari sini Islam bisa menyumbangkan suatu bentuk peradaban yang lebih damai seperti keyakinan pemeluknya tentang fungsi Islam sebagai berkah bagi seluruh penghuni alam ini (rahmatan lil 'alamin) dan makna dari nama Islam itu sendiri.


Oleh : Abdul Munir Mulkhan, Spiritualisasi Sains dan Fungsionalisasi Religi, Harian Republika, 1 September 2005, hlm 1