Monday, February 13, 2006

Sufistisasi Ekonomi1

Belum tuntas evakuasi mayat akibat gempa Aceh 26 Desember 2004 lalu, lebih seribu mayat lagi harus segera dievakuasi akibat gempa serupa melanda Nias dan Simeuleu. Derita duka berdenyut ke relung hati penduduk seantero negeri yang tak pernah bebas dari perangkap kemiskinan, akibat bencana alam, salah urus negeri dan kenaikan harga BBM. Elite negeri di aras lokal atau nasional lebih sibuk merebut dan kekuasaan dalam berbagai konggres partai atau pemilihan kepala daerah (Pilkada). Rakyat pun kehilangan arah menghadapi berbagai problem kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Sufistisasi diri perlu dilakukan untuk keluar dari kekacauan dan kemiskinan dilematis serta ketakacuhan elite negeri ini atas nasib rakyatnya tersebut.

Doktrin sufistik bisa dijadikan dasar etik pengembangan kehidupan lebih humanis dengan tetap memelihara produktivitas di tengah gaya hidup modern yang memproduksi ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Fungsionalisasi ajaran sufi itu lebih urgen ketika berbargai wilayah negeri ini dilanda bencana alam akibat salah urus dan daur-ulang fisika bumi. Kehancuran sarana kehidupan akibat gempa tektonik dan badai tsunami di Aceh akhir tahun lalu yang 100 hari kemudian disusul gempa serupa tak terbayangkan di saat kita sedang menikmati indahnya kehidupan duniawi.

Konflik menajam dalam pertarungan politik setiap pergantian pimpinan partai dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mulai berlangsung di seluruh kawasan Tanah Air, membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat semakin mengenaskan. Fakir-miskin dan korban bencana alam itu makin tak terurus saat elite partai dan bahkan keagamaan terperangkap perebutan kekuasaan materiil. Doktrin sufi mengajarkan bagaimana cara pembebasan manusia dari perangkap labirin hasrat kuasa dan kaya yang tak jarang membuat pelaku ekonomi, politik dan keagamaan kehilangan rasa kemanusiaan.

Tuduhan ajaran sufi menjadi penyebab utama lemahnya etos sosial, ekonomi dan politik sehingga mayoritas pemeluk Islam tergolong miskin dan berpendidikan rendah adalah akibat kesalahpahaman memaknai ajaran-ajaran sufi tersebut. Ajaran sufi bisa menjadi basis etik dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik kebangsaan humanis dan berkeadilan dalam aras global jika dimaknai sebagai praksis kemanusiaan. Akar etik sufi ialah kesediaan manusia menempatkan dinamika kebendaan dan duniawi (sosial, ekonomi, politik) sebagai wahana pencapaian tahap kehidupan (maqam) lebih tinggi dan bermutu.

Bagi kaum sufi, kehidupan sosial, ekonomi dan politik bukanlah tujuan final, tapi tangga bagi kehidupan lebih luhur. Inilah maksud ajaran suluk sebagai jalan mencapai makrifat sebagai pengetahuan tertinggi tentang hakikat kehidupan dinamis alam dan manusia. Dari makrifat yang futuristik itu manusia bisa melihat hukum kausal sejarah dan berbagai kemungkinan kejadian di masa depan. Realisasi doktrin sufistik bukanlah dengan menjauhi, menolak dan menghindari pergulatan bendawi, melainkan melampaui dan menerobos batas-batas dinamika bendawi yang materialistik dan habis-bagi.

Cara hidup sufi (perilaku sufistik) merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materiil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi dan politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Praksis sufi bukan menjauhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran lebih spiritual dan ilahiah. Itulah basis etik setiap laku sufi yang seharusnya meresapi tiap tindakan manusia di dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta berbagai kegiatan ilmiah. Inti ajaran sufi demikian itu mudah kita kenali di semua ajaran agama-agama di dunia yang otentik.

Berbasis etika sufistik seseorang bersedia membantu meringankan penderitaan orang lain, walaupun diri sendiri menghadapi kesulitan dan penderitaan serupa. Prestasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik penganut sufi, selalu terarah bagi capaian kualitas spiritual, bukan semata bagi status sosial, penumpukan harta dan kuasa pribadi. Ajaran zuhud bukan uzlah (meng-isolasi diri) lari dari dinamika hidup empirik, tapi mengatasi hingga bisa bertindak sebagai pengamat atas hidupnya sendiri dan kehidupan duniawi. Fakir bukan hidup miskin tanpa harta dan kuasa, tapi berlaku bagai si miskin atas harta dan kuasa yang dimiliki, sehingga seseorang mudah memberikan harta dan kuasanya bagi kesejahteraan publik.

Itulah sufistisasi ekonomi yang belakangan berkembang menjadi faktor penentu dinamika sosial dan politik. Sufistisasi berarti peletakkan tiap usaha dan prestasi sosial, ekonomi, dan politik pada akar nilai kemanusiaan, bukan sebagai berhala-berhala ketika harta dan kuasa dianggap lebih berharga dari praksis pemihakan kepentingan humanitas universal. Keculasan ekonomi (kerakusan kapilatistik) dan politik (cenderung korup) ialah akibat perilaku ekonomi dan politik hanya bagi peraihan kekayaan harta finalistik.

Gagasan Imam Alghazali seringkali dijadikan referensi penolakan pelibatan diri dalam dinamika sejarah, ekonomi dan politik dalam doktrin zuhud dan fakir. Ajaran itu bagi Alghazali berarti peletakkan kegiatan ekonomi dan politik bagi pengabdian pada Tuhan. bukan menolak atau lari dari kehidupan empiris. Inilah maksud transendensi dan radikalisasi dalam pemikiran filsafat. Proses demikian akan menumbuhkan kesadaran tentang diri, realitas alam raya, dan Tuhan sendiri yang membuat kehidupan seseorang bebas mekanisme bendawi, memasuki wilayah universal dan melampaui batas bendawi materiil bagi tujuan-tujuan spiritual kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus.

Sufistisasi ialah praksis sufi dalam kehidupan empirik sehingga kebekuan sosial, eknomi, politik, dan keberagamaan dicerahi kemanusiaan dan diresapi logika sejarah kritis dan dinamis. Bukan lari dari kecenderungan ekonomi dan politik yang culas dan korup, tapi kerja keras menahan diri mengatasi perangkap finalitas ekonomi dan politik. Tidak jarang kegiatan ritual keagamaan terperangkap finalitas serupa ketika ditujukan hanya untuk meraih pahala sebesar mungkin tanpa keterkaitan fungsional pemecahan problem kehidupan riil. Prestasi sosial, ekonomi, politik, dan kesalehan religius lebih bermakna saat seseorang memasuki wilayah tanpa batas penuh kenikmatan hidup dan melampaui dimensi bendawi.

Sufistisasi produktif penting dalam keberagamaan non-produktif fatalis yang lebih menekankan pencarian kekayaan moral-spiritual menolak kekayaan dan kuasa bendawi. Pemahaman ajaran zuhud seperti itulah penyebab ketertinggalan masyarakat Muslim yang miskin dan terkebelakang. Selama ini ajaran fakir bersama zuhud dipahami sebagai ketakpedulian Muslim dalam dinamika sejarah terhadap peluang ekonomi menjadi kaya, peluang sosial (pendidikan) menjadi pintar, peluang politik menjadi penguasa.

Strategi mental sufi produktif lebih urgen di tengah penduduk miskin negeri kaya sumber daya alam Indonesia ini jumlahnya bisa lebih besar dari angka-angka resmi BPS (Biro Pusat Statistik). Gaji pegawai negeri golongan III bermasa kerja lebih 20 tahun hanya sekitar 1 jutaan. Sebagai pekerja tunggal (istri ibu rumahan) dengan 3 anak yang semua sekolah, gajinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan petani per-bulan dengan hak garap 0,250 ha jauh di bawah pegawai negeri golongan II yang membuat mereka lebih sulit memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosialnya. Nasib lebih mengenaskan dihadapi pekerja buruh walaupun gajinya di atas UMR, lebih-lebih bagi petani tanpa hak garap dan penduduk yang tak memiliki pekerjaan tetap.

Derita orang miskin menjadi lebih tragis saat modernisme memandang dinamika jasad (materi) lebih penting dan berharga dari dinamika kejiwaan dan spiritual, ekonomi lebih penting dan berharga dari moralitas, kekuasaan politik lebih penting dan berharga dari tanggung jawab. Sementara kaum sufi memandang materi (jasad) sebagai abdi, alat dan pintu jiwa, ekonomi alat dan media pembuktian kesalehan, dan politik kekuasaan sebagai metode pemenuhan amanah pertanggungjawaban publik. Pencapaian dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bagi orang modern adalah akhir pencarian, tapi bagi sufi iptek merupakan tahap antara dari memahami, menyentuh dan berdialog dengan puncak metafisika kegaiban yaitu Tuhan atau yang disebut Tuhan itu sendiri.

Sayangnya, saat modernisme berhenti pada iptek, ekonomi bagi kekayaan harta, politik bagi kuasa, hidup sosial bagi status, ritual bagi pahala, praktik sufi cenderung meloncati beberapa proses yang seharusnya dilalui untuk tiba di wilayah kegaiban dan kehadiran dalam kehidupan nyata. Secara kurang disadari dan dipahami, banyak orang ingin mencapai keberhasilan hidup atau kesalehan religius tanpa amal praktis dan proses dengan argumen jika dikehendaki Tuhan, segala hal menjadi mungkin. Penguasaan iptek, harta dan kuasa dipandang sebagai hidayah (pemberian) Tuhan, bukan hasil dari sebuah proses kreatif. Karena itu kemiskinan diterima sebagai nasib ketika kaya dan kuasa duniawi dipandang sebagai wahana setan dan awal sebuah kejahatan.

Karena itu kehidupan dunia global lebih bernilai ketika kekayaan dan kekuasaan diabdikan bagi Tuhan tapi bukan hanya bagi kepentingan diri sendiri, keluarga dan golongan sendiri. Kaya dan kuasa tak akan berarti ketika tidak ada lagi orang lain yang bisa mengakui dan menikmati kekayaan dan kekuasaannya seperti kasus sejarah Qarun dan Firaun. Bukti pengabdian pada Tuhan secara otentik ialah ketika seseorang dengan suka rela membantu mereka yang, karena berbagai penyebab, menderita kemiskinan dan kelaparan serta penyakitan. Tidak cukup menyatakan mereka yang miskin, menderita dan penyakitan adalah akibat kemalasan dan kegagalan merebut peluang, tapi lebih bermakna jika mereka yang memiliki banyak peluang dan kuasa bersedia memberikan sebagian peluang dan kewenangan kuasanya itu bagi orang lain agar bisa bekerja lebih produktif dan tumbuh lebih kreatif.

Imam Al Ghazali menyatakan bahwa dinamika kehidupan manusia dalam sejarah bertumpu pada unsur dan proses kejadian manusia yang dijadikan dari dua unsur, yaitu: ruh dan jasad tubuh. Dimensi ruh karena proses kejadiannya langsung bersumber dari Tuhan ia terbebas dari hukum natural mekanis. Sementara jasad tubuh tumbuh melalui proses natural hingga dikenai dan terikat proses mekanistis tersebut ketika kedewasaan tubuh memerlukan waktu historis dalam hitungan tahun. Karena itu Imam Alghazali berpendapat bahwa kebahagiaan hidup seseorang bisa dicapai ketika mekanisme jasad tubuh itu diabdikan sepenuhnya pada mekanisme ruh-nya.

Jasad dikenai rasa lelah, mengantuk, penyakit dan kebutuhan tidur, tidak demikian dengan ruh. Jasad terikat jam-biologis, tapi ruh adalah dimensi bebas segala keterikatan atas dinamika bendawi. Seseorang yang biasa tidur siang atau malam jam 21.00, ketika suatu saat tidak tidur siang atau tidur larut malam akibat sibuk kerja atau sebab lain, badannya terasa nyeri atau serba tidak enak. Situasi demikian tidak dialami ruh yang tak mengenal dan tidak dikenai waktu historis dan hukum mekanis jasad-tubuh tersebut.

Orang-orang kaya harta dan kuasa seringkali hidupnya kosong dan hampa karena kehilangan kekayaan ruhaniah dan spiritual. Mereka yang kaya harta, kuasa dan ilmu, mengalami insomnia (sulit tidur), mahal senyum, dan stres berat, tanpa banyak pilihan, kecuali mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Manusia terperangkap dalam mekanisme bendawi serba terbatas dan habis-bagi. Sementara banyak orang yang tiap hari makan sekali bekerja keras sehari suntuk di bawah terik matahari, bisa besenda gurau dan tidur lelap malam hari berselimut awan. Mari kita bertanya pada diri sendiri: apa sebenarnya yang kita cari dengan segala daya dalam kehidupan sepanjang kurang satu abad ini?

Oleh : Abdul Munir Mulkhan, Sufistisasi Ekonomi dalam Perangkap Kemiskinan, Harian Investor Daily Indonesia, Januari 2005