Thursday, March 16, 2006

Kapitalisasi Erotisme

Republika, Senin, 13 Maret 2006

'Permusuhan' Raja Dangdut Haji Rhoma Irama dan Inul 'Ngebor' Daratista yang marak kembali dalam rapat dengar pendapat Panitia Khusus (Pansus) RUU Antipornografi dan Pornoaksi, mencerminkan dilema erotisme estetis dan kesalehan. Ketika ratusan korban bencana alam, busung lapar, dan flu burung kehabisan air mata, selebriti seni, politisi dan agamawan berdebat tentang legalitas erotisme keindahan tubuh. Lebih indah jika para selebriti itu menghibahkan sebagian honorariumnya guna membebaskan penderitaan rakyat kecil tersebut, atau bangsa ini mungkin telah benar-benar kehilangan empati dan sensitivitas kemanusian.

Lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebas mengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik? Selingkuh mungkin menarik, indah dan menyenangkan bagi pelakunya, tapi apakah hal itu benar dan baik? Problem etis ini sudah menjadi perdebatan filosofis sejak zamannya Socrates.

Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik. Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban.

Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.

Kesalehan memang wilayah privasi di mana Tuhan sendiri hakim pemutusnya. Tapi jika suatu tindakan dilakukan di ruang publik, sejumlah persyaratan dan batasan harus dipenuhi. Setiap bangsa memiliki tradisi yang dibangun dari pengalaman panjang warga dengan seperangkat nilai religius atau estetis. Goyang ngebor, mengumbar paha atau payudara, lirik lagu dan sejumlah kosa kata erotis mungkin indah. Tapi, banyak yang menilai sebagai tindak maksiat yang tak indah.

Mati dengan bom syahid dengan banyak korban jiwa bisa bernilai spiritual tinggi bagi pelaku, tapi banyak orang yang menilai sebagai teror tanpa nilai spiritual ketuhanan.

Seni untuk seni
Dalil seni untuk seni, rasa estetis sebagai privasi, dan kitab suci untuk Tuhan, tak dapat dijadikan pembenar tiap kreasi seni dan goyang erotis. Keyakinan atas kebenaran firman Tuhan tidak bisa dijadikan pembenar tindakan yang mengganggu privasi orang lain. Penting disadari bahwa subjektivitas seni, estetika dan erotisme, atau spiritualitas memiliki dimensi objektif ketika berhubungan dengan orang lain.

Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.

Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.

Mereka lupa
Banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.

Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.

Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.

Ikhtisar
*Apakah orang bisa bebas mengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik? Problem etis ini sudah menjadi perdebatan filosofis sejak zamannya Socrates.

* Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.

*Dalil seni untuk seni, rasa estetis sebagai privasi dan kitab suci untuk Tuhan, tak dapat dijadikan pembenar tiap kreasi seni dan goyang erotis.

*Penting disadari bahwa subjektivitas seni, estetika dan erotisme, atau spiritualitas memiliki dimensi objektif ketika berhubungan dengan orang lain.

*Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi.

*Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan.

*Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.